KetikPos.com - Konsep “rakyat” yang kita terapkan saat ini terkait erat dengan kebangkitan negara modern pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Untuk pertama kalinya, muncul otoritas yang benar-benar tersentralisasi.
Pada Abad Pertengahan terdapat struktur kekuasaan yang tambal sulam; orang-orang yang diidentifikasi dengan semua jenis pusat dan institusi kekuasaan
Dengan demikian, suatu bangsa diciptakan dalam pengertian politik: subyek negara baru, di bawah penguasa pusat. Oleh karena itu, jumlah penduduk merupakan hasil dari skala ekonomi.
Namun negara bagian ini jauh lebih besar dan lebih anonim dibandingkan desa atau kota. Hal ini pasti menimbulkan pertanyaan: apa yang menyatukan subjek-subjek ini, apa kesamaannya?
Agar negara dapat bertahan hidup, penyatuan budaya juga diperlukan. Hal ini terjadi dari atas ke bawah: terdapat kebijakan aktif homogenisasi budaya, terutama melalui bahasa Indonesia sebagai satu bahasa.
“Bahasa nasional” adalah kesepakatan dalam sumpah pemuda 1928. Pada periode perjuangan kedaerahan dialek masih campur aduk.
Baca Juga: Eddy Santana Putra Tegaskan Pindah Haluan Mendukung Penuh Ratu Dewa-Prima Salam di Pilkada Palembang
Sistem ini bersifat bottom-up: pertama ada proses penyatuan budaya, dan baru kemudian ekspresi politiknya, yaitu negara kesatuan. Bagaimanapun, terdapat koherensi batin dan sekaligus ketegangan antara masyarakat politik dan budaya, antara negara dan bangsa. Bagaimana mereka berhubungan satu sama lain masih menjadi salah satu perdebatan politik .
Di satu sisi ada kaum nasionalis yang ide dasarnya: harus ada hubungan satu lawan satu antara negara dan bangsa. Dan juga bahwa setiap “bangsa”, setiap masyarakat budaya, mempunyai hak atas negaranya sendiri.
Jadi: Skotlandia, Flemish, dan Catalan harus mempunyai negara bagian mereka sendiri. Nasionalisme ini juga ada dalam varian liberal yang diungkapkan oleh para ahli teori kontemporer seperti David Miller dan Will Kymlicka .
Sebaliknya, pemikir seperti filsuf Jerman Jürgen Habermas , yang berpendapat bahwa hubungan intim antara negara dan bangsa sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Kita hidup di masa “pasca-nasional”, menurutnya, karena karakter masyarakat yang semakin multikultural dan globalisasi.
Ia menyebut nasionalisme bersifat nostalgia: keinginan akan identitas budaya yang “kental” seperti “Belanda” atau “Jerman” tidak lagi sesuai dengan realitas sosiologis yang baru. Hal ini memaksa kita untuk mencari bentuk-bentuk baru integrasi politik, tanpa mendasari kesatuan budaya.'