Pemimpin atauTukang Bentak? Fenomena Kepala Daerah Marah di Ruang Publik

photo author
DNU
- Selasa, 15 April 2025 | 07:17 WIB
Dr. H. Mohammad Syawaludin. MA (Dok)
Dr. H. Mohammad Syawaludin. MA (Dok)

Dr. H. Mohammad Syawaludin. MA

Dosenpascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Artikel ini bukan sebagai penilaian atau kritik terhadap seseorang atau siapa pun, tetapi hanya sekedar memotret realitas politik kepemimpinan di beberapa daerah yang viral.

Fenomena kepala daerah yang menunjukkan perilaku marah, membentak, dan mengancam pejabat birokrasi di ruang publik kian sering terjadi dan mendapat sorotan luas dari masyarakat serta media.

Dalam sebuah rapat resmi yang disiarkan langsung, seorang kepala daerah berdiri dan membentak bawahannya. Nada tinggi, gestur tangan menunjuk-nunjuk, bahkan ada ancaman: “Kalau tidak becus kerja, saya copot kamu!” Penonton bersorak di kolom komentar—“Akhirnya ada pemimpin yang tegas!”

Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah benar itu bentuk ketegasan? Atau justru pertunjukan kekuasaan yang merusak tata kelola pemerintahan?Tindakan tersebut kerap dianggap sebagai simbol ketegasan dan kepemimpinan yang kuat.

Namun, dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (goodgovernance), gaya kepemimpinan seperti ini justru menimbulkan persoalan serius dalam sistem birokrasi, terutama terkait dengan profesionalisme, etika administrasi, dan efektivitas pelayanan publik. Tulisan ini menganalisis fenomena tersebut melalui pendekatan deskriptif-kualitatif dengan meninjau aspek psikologis, sosial-politik, serta implikasinya terhadap budaya kerja birokrasi di tingkat daerah.

Hasil kajian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan otoriter yang mengedepankan ekspresi kemarahan secara terbuka berpotensi menciptakan budaya kerja berbasis ketakutan (fear-basedgovernance), melemahkan fungsi kontrol internal birokrasi, serta mengganggu stabilitas dan integritas organisasi pemerintah daerah.

Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin daerah yang mampu bersikap tegas secara etis dan komunikatif, serta memperkuat sistem manajerial yang transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam kerangka demokrasi lokal yang sehat.

“Gaya Marah” Jadi Branding Kekuasaan

Fenomena kepala daerah marah-marah ini kini jadi semacam strategi komunikasi politik. Mengapa ? tidak dapat diabaikan tekanan media sosial atas janji politik dan ekspektasi publik akan “pemimpin kuat”, muncul tren baru: pemimpin yang tampil keras, tegas, bahkan galak.

Padahal, sering kali amarah itu ditujukan bukan dalam ruang tertutup, tapi secara terbuka dan sengaja disiarkan. Kenapa? Karena kamera menyala, netizen menonton, dan pencitraan sebagai "pemimpin tanpa kompromi" bisa viral dalam hitungan menit.Ini bukan lagi sekadar kemarahan, tapi konstruksi citra.

Dalam istilah politik, ini disebut "authoritarian performance"—pertunjukan kekuasaan agar terlihat berwibawa, meski kadang tak dibarengi dengan perbaikan sistemik. Ada kajian literaturyang membahas fenomena kepala daerah yang marah dan mengancam pejabat birokrasi, dalam konteks kepemimpinan pemerintahan daerah dan tata kelola birokrasi:

Jejak literaturFenomena Kepala Daerah Marah & Kepemimpinan Otoriter

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB
X