Kemudian bibit gandum hybrida dibawa ke India dan juga mengalami keberhasilan. Dari tahun 1965-1986 produksi gandum di India meningkat lebih dari 400% menjadikan India negara pengekspor gandum terbesar ke-tiga di dunia. Selain di India, sejak 1965 Pakistan juga mengalami peningkatan produksi dengan budidaya gandum hybrida ini.
Untuk ekspansi di Asia Tenggara, riset beralih dari gandum menjadi padi karena kawasan ini mayoritas mengkonsumsi nasi. Lewat pendanaan internasional Rockafeller Foundation dan Ford Foundation serta pemerintah Filipina, lahirlah lembaga riset International Rice Research Institute (IRRI). Dari riset IRRI berkembanglah padi jenis IR8. Karakteristiknya sama dengan gandum semi-kerdil di Meksiko, yaitu adaptif terhadap irigasi, input pupuk sintetik dan pestisida dengan kemampuan produksi tinggi.
Baca Juga: Polres PALI Gelar Panen Raya Jagung Tahap I: Wujud Sinergi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional
Di Indonesia sendiri penerapan Revolusi Hijau tahun 1966 berhasil membuat Indonesia mengalami swasembada beras tahun 1984. Bedanya penerapan Revolusi Hijau Indonesia sangat militeristik. Militer terlibat langsung lewat komando teritorial dalam program pertanian seperti Bimbingan Massal (BIMAS)’66 dan Intensifikasi Khusus (INSUS)’79. Petani diarahkan secara top-down dengan pengawasan ketat angkatan bersenjata di lahan mereka.
Lahirnya Sistem Agribisnis dan Rezim Pangan Ke-3
Tahun 1954 muncul Public Law 480 (PL-480) sebuah program diplomasi gandum Amerika Serikat yang menyasar negara-negara berkembang. Selain untuk ekspansi produk pangan AS juga berguna untuk menghambat penyebaran paham komunisme dari Uni Soviet, musuh AS dalam Perang Dingin. Negara-negara inilah yang nanti mengadopsi Revolusi Hijau.
Jika di Eropa Barat ada Marshall Plan’48 yang menyalurkan bantuan pangan dan pendanaan pembangunan dan perbaikan ekonomi pasca PD II, di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan juga ada bantuan sejenis dari Economic Coorperation Administration (ECA) tahun 1950-an dan otomatis ketiga negara juga menerapkan Revolusi Hijau namun dengan nama yang berbeda-beda. Merekalah yang nanti diglorifikasi dan menjadi model industrial untuk Asia.
Baca Juga: Polres PALI Gelar Panen Raya Jagung Tahap I: Wujud Sinergi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional
Penerapan Revolusi Hijau tidak bisa dilepaskan dari paket Revolusi Hijau yaitu seperangkat teknologi pendukung seperti bibit unggul, pupuk sintetis, racun dan obat pertanian serta mesin, energi dan irigasi. Semua kebutuhan itu dipenuhi oleh perusahaan pertanian global seperti Monsanto, Syngenta, Cargill, DuPont, Bayer AG, dan perusahaan minyak serta perbankan. Mereka semua adalah perusahaan besar yang bermain dalam PD I dan PD II.
Integrasi pertanian ke dalam pasar bebas disusun lewat General Agreement on Tarif and Trade (GATT)’47, berisi perjanjian multilateral liberalisasi perdagangan. Tahun 1986-1994 GATT putaran Uruguay, perjanjian meluas hingga ilmu pengetahuan dan jasa di sektor pertanian. Juga didirikannya World Trade Organization (WTO)’95. WTO kemudian memberlakukan Agreement on Agriculture (AoA)’95 yaitu kontrol atas subsidi dan tarif serta mendorong liberalisasi perdagangan sektor pertanian global.
Baca Juga: Kejari PALI Luncurkan Program “Jabat Tani” untuk Perkuat Ketahanan Pangan dan Lindungi Petani
Dalam pendanaan guna menciptakan keberlanjutan dan ketergantungan global, tahun 1944 diadakan Konferensi Bretton Woods. Diadakan oleh negara-negara sekutu guna membentuk tatanan ekonomi global baru pasca PD II. Dari perjanjian ini dolar menjadi mata uang dunia dan lahirlah International Monetery Fund (IMF) dan World Bank (WB). Setiap peminjam harus mendukung privatisasi, deregulasi dan pengurangan subsisi ala neoliberalisme.
Menurut Philip McMichael dalam bukunya Rezim Pangan dan Masalah Agraria, secara global pasca diplomasi pangan dan pendanaan AS hingga terbentuknya sistem neoliberal yang kuat, terjadi transisi menuju Rezim Pangan ketiga. Inggris dan Amerika Serikat adalah rezim pangan pertama dan kedua yang bercirikan kontrol negara atas pangan dunia. Namun di rezim ketiga yang terjadi adalah kontrol korporasi global atas pangan dalam kerangka agribisnis.
Gerakan Petani Sebagai Bentuk Contra Hegemony Agribisnis
Sistem agribisnis ini tidak sedikitpun menguntungkan petani kecil, hanya efektif bagi perusahaan pertanian dengan modal dan lahan yang mendukung. Model pertanian agribisnis menimbulkan kerusakan lingkungan, penghancuran kebudayaan, hilangnya pengetahuan dan bibit lokal, pangan tidak sehat, ketergantungan dan biaya mahal, perampasan lahan petani dan masyarakat adat untuk ekspansi industri pertanian yang kemudian menjurus pada kemiskinan struktural.
Artikel Terkait
Pelayanan Publik, Pengelolaan Transportasi umum dan Penataan Tata Ruang Kota kunci suksesnya menuju Palembang Smart City
Kabel Semrawut di Perkotaan: Ancaman Tersembunyi dan Siapa yang Bertanggung Jawab serta Apa Hak Masyarakat?
Sensasi Mandi Air "Pintu Aik" Kacang Pedang
Sengketa Ijazah Ditahan: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Etika
Permen ESDM No. 14 Tahun 2025: Peluang Baru Pengelolaan WK Migas dan Kontribusi Sumur Masyarakat di Sumatera Selatan
PERLAKUAN PADA BUNG, karya Dedi Irwanto
Sainstisasi Tradisi Serasan Sekundang: Bagaimana Wujudnya?