Terpilih menjadi anggota dewan. Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya.
Kursi yang pernah diduduki ayahnya dirasakan juga olehnya.
Hanya saja, politik berubah. Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua, ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak terpilih lagi.
Dia terpental.
Usahanya pun kini hancur. Tinggallah, dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi.
Tak sekuat ayahnya dulu. Motor tua itu pun tak terurus.
Motor itu kini mau bercerita banyak.
Tapi, adakah orang masih mendengarkan.
Masih kah motor besar itu segagah dulu.
Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini telah banyak merajai jalanan.
Adakah yang mau membersihkan motor itu.
Pemilihan umum kini pun telah berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak ikut.
Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga maupun biaya.
“Pemilu sekali ini beda. Tak penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan.
Ketika penghitungan suara molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress.