pariwisata-kebudayaan

Malam Pertama Pengantin Baru Bersama Dulmuluk Bangsawan

DNU
Selasa, 8 Juli 2025 | 11:01 WIB
Pementasan Bangsawan di Lorong Taman Bacaan, Tangga Takat, SU II (dok)

Juga tampak hadir juga, Mang Dayat, seorang onten creator budaya yangj uga Ketua AKSSI ( Asosiasi Kreator Konten Seluruh Indonesia) Wilayah Sumsel, sekaligus  Ketua Tim 11 (tim percepatan realisasi pakta integritas RDPS).

Kiki Kirana dan kawan-kawan yang hadir belakangan, ikut meramaikan padatnya kursi penonton di halaman yang sempit.

Sajian nasi minyak di kediaman Vedo menjadi penghantar yang mantap untuk bertahan sampai larut malam di depan panggung penampilan Bangsawan.

 Baca Juga: Dulmuluk: Warisan Teater Tradisional Sumatera Selatan

Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dulmuluk di Palembang
Seni pertunjukan Dulmuluk merupakan salah satu warisan budaya khas Palembang yang telah ada sejak abad ke-19. Kesenian ini awalnya dikenal sebagai pembacaan syair atau cerita berbentuk teater yang berkembang dari tradisi lisan masyarakat. Dulmuluk berakar dari kisah Syair Abdul Muluk dan telah menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Palembang.

Awal Mula Dulmuluk: Dari Syair ke Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan ini pertama kali dikenalkan di Palembang sekitar tahun 1854 oleh seorang pedagang keturunan Arab bernama Wan Bakar. Dalam perjalanannya berdagang ke berbagai daerah, termasuk Singapura dan Malaysia, Wan Bakar memperoleh sebuah kitab berjudul Syair Abdul Muluk.

Baca Juga: Dulmuluk: Warisan Budaya Tak Benda dari Syair Abdul Muluk dan Kejayaan Kerajaan Melayu

Setibanya di Palembang, Wan Bakar menetap di daerah Tangga Takat, Kecamatan Seberang Ulu II. Di sana, ia kerap membacakan kitab syair tersebut kepada masyarakat sekitar. Pembacaan kisah Abdul Muluk rupanya menarik perhatian warga, sehingga permintaan untuk mendengarkan kisah tersebut semakin meningkat.

Melihat animo masyarakat, Wan Bakar membentuk sebuah kelompok pembaca syair yang membacakan Syair Abdul Muluk secara bergantian, berdasarkan peran tokoh dalam cerita. Pada tahap awal, pembacaan masih dilakukan secara tekstual. Namun, seiring waktu, pertunjukan berkembang: para tokoh mulai menghafal dialog, mengenakan kostum sederhana, dan memerankan adegan dengan beradu akting.

Pertunjukan yang semula hanya dilakukan di dalam rumah lambat laun berpindah ke tanah lapang atau ruang terbuka, karena minat masyarakat semakin tinggi. Acara ini pun menjadi hiburan rakyat yang ramai didatangi, bahkan menjadi peluang ekonomi bagi para pedagang sekitar, salah satunya Wak Nangnong.

Perkembangan Melalui Generasi: Dari Wak Nangnong ke Jonhar Saad
Wak Nangnong, seorang pedagang yang juga menjadi tokoh penting dalam penyebaran Dulmuluk, mulai mengajarkan seni ini kepada masyarakat. Salah satu muridnya adalah Yek Mesir (kakek dari Jonhar Saad), yang kelak dikenal sebagai generasi pertama pengembang Dulmuluk di Palembang, sejak tahun 1902.

Yek Mesir dan cucunya, Jonhar Saad, kemudian membentuk kelompok Dulcik (Dulmuluk Cilik), sebuah grup teater yang beranggotakan anak-anak. Namun, seiring berkembangnya teater Bangsawan yang lebih populer di kalangan masyarakat, minat terhadap Dulcik menurun. Akibatnya, dari tahun 1970 hingga 1972, kegiatan Dulcik sempat vakum.

Baru pada tahun 1978, Dulcik bangkit kembali dan mengubah namanya menjadi Dulmuluk Remaja, seiring dengan mayoritas anggotanya yang merupakan remaja. Dalam perkembangannya, kelompok ini kembali berganti nama menjadi Teater Dulmuluk Jaya Bersama pada tahun 1982, dan kemudian menjadi Teater Dulmuluk Harapan Jaya, yang masih aktif hingga tahun 2024 di bawah kepemimpinan Jonhar Saad.

Jonhar Saad: Penjaga Api Dulmuluk
Jonhar Saad merupakan tokoh sentral dalam pelestarian seni pertunjukan Dulmuluk. Ia telah mengenal dan terlibat dalam dunia Dulmuluk sejak usia 4 tahun, melalui bimbingan kakeknya, Yek Mesir. Pada tahun 1967, ketika masih duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat), ia mulai serius menekuni seni ini.

Baca Juga: Dulmuluk Hidup Lagi di Palembang! Pangeran Malbi Cari Rendang yang Hilang Malam Ini

Halaman:

Tags

Terkini