Ketikpos.com -- Forum Dokter Susah Praktek (FDSP) meminta agar Kemendiknas tidak lagi ikut mengatur dalam pendidikan dokter umum, spesialis dan sub-spesialis. Harusnya diserahkan ke Konsil Kedokteran dan Kemenkes.
Hal ini ditegaskan Koordinator Forum Dokter Susah Praktek (FDSP), Dr. Yenni Tan seperti dilansir dari Bergelora.com di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
“Kami mendukung UU Pendidikan Kedokteran untuk dimasukan dalam RUU Kesehatan. Sebagai contoh dari negara maju, program dokter umum, dokter spesialis dan dokter sub-spesialis ditata dan dinaungi oleh Konsil Kedokteran dan Kemenkes,” tegasnya.
Sebelumnya, Dr. Yenni Tan menjelasaskan, monopoli program pendidikan spesialis dan subspesialis oleh universitas negeri atau university-based harus dihapuskan. Monopoli universitas negeri dalam pendidikan dokter spesialis menghambat produksi dan pemerataan distribusi dokter di Indonesia. Hal ini disampaikan saat audiensi bersama berbagai organisasi tenaga kesehatan, Dewan Kesehatan Rakyat dan Siti Fadilah Foundation bertemu Agung Laksono dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jumat (28/4) lalu.
“Sebagai solusinya, hospital-based program untuk Pendidikan program spesialis dan subspesialis jadi pertimbangan dengan alasan pendidikan dan praktek kedokteran tidak dapat dipisahkan,” ujarnya.
Ia mencontoh dari negara maju, program Pendidikan hospital-based dapat
merubah paradigma dokter yang sedang menjalani program spesialis dan sub-spesialis yang tadinya mewajibkan untuk membayar kepihak universitas menjadi mendapat penghasilan.
“Pada prinsipnya mereka (mahasiswa kedokteran) berhak menerima insentif dari rumah sakit atas jasanya,” ujarnya.
Menurutnya syarat dan ketentuan masuk program spesialis dan sub-spesialis harus transparan, terbuka dan adil. Dengan adanya hospital-based program, dapat mengubah kultur feodal menjadi kultur fairness.
“Untuk itu, kolegium dokter, termasuk kolegium spesialis dan subspesialis harus diambil alih penuh oleh pihak pemerintah. Saat ini kolegium ada dibawah ormas Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan sering terjadi eksploitasi, nepotisme maupun diskriminasi terhadap dokter lulusan luar maupun dokter lulusan dalam negeri. Rangkap jabatan pihak ormas IDI sering terjadi sehingga tidak ada transparansi, merit-based dan fairness dalam pengurusan dan pembuat peraturan,” ujarnya.
Luar Negeri vs Dalam Negeri
Mengenai tenaga medis lulusan luar negeri maupun lulusan dalam negeri menurutnya harus ada ujian kompetensi yang sesuai standard international.
“Penyebutan ‘adaptasi’ dokter lulusan luar negeri harusnya dihapuskan, karena diskriminasi, eksploitasi dan menghambat kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia,” ujarnya.
Ia menceritakan, saat ini untuk dokter umum lulusan luar negeri diwajibkan untuk mengikuti adaptasi selama 1 tahun dan setelah itu mengikuti internship selama 1 tahun, peraturan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan PERKONSIL 2016 No.41 mengenai kewajiban internship untuk dokter yang telah menjalankan internship di negara asal Pendidikan.
“Total waktu yang dibutuhkan untuk dokter umum dan dokter spesialis untuk adaptasi sangat berlebihan dan dapat memperlambat upaya pemerintah untuk memperbanyak tenaga kesehatan yang kompeten,” jelasnya.