Ketika Zaman Berubah, Kiai Anwar Manshur Tetap Menjaga Cahaya Lirboyo

photo author
- Jumat, 17 Oktober 2025 | 16:06 WIB
Ketika Zaman Berubah, Kiai Anwar Manshur Tetap Menjaga Cahaya Lirboyo (Dok)
Ketika Zaman Berubah, Kiai Anwar Manshur Tetap Menjaga Cahaya Lirboyo (Dok)


KetikPos.com, Kediri — Di tengah hiruk pikuk dunia maya yang kini ramai menyoroti Pondok Pesantren Lirboyo, ada satu sosok yang tetap berdiri tenang di tengah gelombang. Wajahnya teduh, tutur katanya lembut, dan langkahnya pelan namun pasti. Ia adalah KH. Anwar Manshur — pengasuh Ponpes Lirboyo yang tak hanya mengajar ilmu, tapi juga menanamkan keteladanan yang tak lekang waktu.
Ketika berbagai tayangan di media sosial menyinggung kehidupan pesantren, banyak yang lupa: di balik tembok tua dan lantunan ayat-ayat di ruang ngaji, hidup seorang kiai yang sepanjang hayatnya memelihara warisan leluhur — bukan hanya ilmu, tapi juga ruh kesederhanaan.
Pewaris Sunyi dari Lirboyo
Kiai Anwar lahir pada 1 Maret 1938, di jantung pesantren yang kelak ia rawat hingga uzur. Ia adalah cucu pendiri Lirboyo, KH. Abdul Karim, atau yang akrab disapa Mbah Manab.
Sejak muda, Kiai Anwar dikenal tekun, jarang bicara banyak, dan gemar menelaah kitab hingga larut malam. Perjalanan ilmunya menapak dari pesantren ke pesantren — Pacul Gowang, Tebuireng, lalu kembali ke Lirboyo. Di sinilah ia memilih menetap, mengajar, dan akhirnya menjadi mata air bagi ribuan santri dari berbagai penjuru negeri.
Setiap pagi, di usia yang hampir menembus satu abad, ia masih membuka majelis pengajian kitab Dalailul Khairat. Suaranya pelan, tapi setiap kalimatnya mengalir menembus hati santri yang duduk bersila di hadapannya.
Penjaga Ruh Salaf di Tengah Arus Zaman
Bagi Kiai Anwar, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi medan perjuangan menjaga tradisi.
Ketika banyak pesantren mulai menyesuaikan diri dengan modernisasi, ia memilih tetap setia pada sistem salaf, pendidikan klasik yang menekankan kedalaman ilmu dan keikhlasan hati.
“Kami tidak ingin kehilangan ruh salaf yang telah diwariskan para kiai,” ujarnya suatu ketika.
Kementerian Agama pernah datang menawarkan penyesuaian kurikulum. Namun Kiai Anwar menolak dengan halus. Prinsipnya sederhana, tapi tegas:
“Melestarikan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Baginya, perubahan tidak harus meniadakan akar. Sebab dari akar itulah tumbuh kekuatan untuk tetap tegak, meski diterpa angin zaman.
Kesederhanaan yang Meneduhkan
Rumah Kiai Anwar tak lebih dari bangunan sederhana di kompleks pesantren. Namun dari tempat itulah, keluar wejangan dan doa yang ditunggu-tunggu banyak orang — dari para santri hingga pejabat negara.
KH. Ma’ruf Amin, KH. Yahya Cholil Staquf, hingga Abdul Muhaimin Iskandar, adalah sebagian dari tokoh yang pernah sowan ke kediaman beliau. Tak ada karpet merah, tak ada sambutan megah — hanya kopi hangat dan senyum yang membuat setiap tamu merasa pulang.
Bagi para santri, wejangan beliau tak pernah berubah:
“Santri itu bukan hanya pandai membaca kitab, tapi juga harus menjaga hati.”
Dalam kalimat itu, seolah terkandung seluruh filosofi hidupnya — bahwa ilmu tanpa akhlak hanyalah cahaya tanpa arah.
Keteladanan yang Tak Pernah Usang
Kini, di tengah derasnya arus informasi dan sorotan publik, nama Kiai Anwar kembali ramai disebut. Namun bagi mereka yang pernah bersimpuh di hadapannya, tak ada yang baru dari semua itu. Sebab sejak dulu, beliau memang tidak mencari sorotan — justru sorotanlah yang datang karena keteduhannya.
Dari langkah pelan seorang kiai tua di Lirboyo, kita belajar bahwa kemuliaan bukan diukur dari popularitas, melainkan dari ketulusan yang terus dijaga dalam diam.

Di antara hiruk-pikuk dunia yang kian cepat berubah, KH. Anwar Manshur tetap menjadi penanda zaman — pengingat bahwa kesederhanaan, keikhlasan, dan istiqamah masih punya tempat di tengah kebisingan dunia.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X