Uji Materi Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu: Rekontruksi Ambang Batas Pencalonan Presiden untuk Kesetaraan Hak Parpol dalam Pencalonan Pilpre

photo author
DNU
- Sabtu, 10 Agustus 2024 | 05:23 WIB
Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Network for Democracy and Electoral Integrity atau NETGRIT) dengan diwakili Direktur Eksekutifnya,  Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) dan Titi Anggraini (Pemohon II), penggiat pemilu dan demokrasi Indonesia, mengajukan uji materi   (Dok)
Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Network for Democracy and Electoral Integrity atau NETGRIT) dengan diwakili Direktur Eksekutifnya, Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) dan Titi Anggraini (Pemohon II), penggiat pemilu dan demokrasi Indonesia, mengajukan uji materi (Dok)

 

KetikPos.com -- Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Network for Democracy and Electoral Integrity atau NETGRIT) dengan diwakili Direktur Eksekutifnya,Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) dan Titi Anggraini (Pemohon II), penggiat pemilu dan demokrasi Indonesia, mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu ) yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Permohonan telah diregistrasi oleh kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Perkara 101/PUU-XXII/2024. Selanjutnya, pada Rabu, 7 Agustus 2024, Para Pemohon beserta Kuasa Hukum, yakni Ahmad Alfarizy, Nur Fauzi Ramadhan, dan Sandy Yudha Pratama Hulu, mengikuti Sidang Pendahuluan di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 MK.

Tercatat hingga permohonan ini diajukan, terdapat sekitar 34 pengujian Pasal 222 UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential nomination threshold) yang telah diputus oleh MK. Dari 32 perkara yang telah diputus, MK secara konsisten menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional dan merupakan suatu kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang (open
legal policy).

Para Pemohon Perkara No.101/PUU-XXII/2024 menggunakan alas hak konstitusional Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai basis kedudukan hukum (legal standing) dalam melakukan pengujian Pasal 222 UU Pemilu di MK.

Pasal 28C Ayat (2) UUD RI 1945 mengatur bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”

Sebagai pihak yang konsisten aktif pada isu kepemiluan dan demokrasi, Para Pemohon menilai bahwa segala perhatian dan kepentingan mereka terhadap isu demokrasi menjadi sia-sia dan tercederai dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu.

Dengan dasar alas hak konstitusional Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945, telah membedakan kedudukan hukum Para Pemohon dengan pendirian Mahkamah Konstitusi yang sejak Putusan 74/PUU-XVIII/2020 atau setelah pelaksanaan pemilu serentak sejak 2019, membatasi kedudukan hukum pengujian Pasal 222 UU UU Pemilu hanya kepada Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

Oleh karena itu, hak Para Pemohon untuk membangun masyarakat melalui demokrasi tidak terikat pada pelaksanaan pemilu serentak sebagaimana hak memilih (right to vote).

Dengan demikian, Para Pemohon
memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian Pasal 222 UU Pemilu.

*Kebaruan Argumentasi Permohonan*

Terdapat sejumlah hal yang disoroti berkaitan dengan substansi permohonan yang diajukan. Pertama, Para Pemohon memaparkan perbedaan dalil mereka atas permohonan-permohonan yang
telah diputus dan dipertimbangkan
pokok permohonannya oleh MK sebelumnya.

Sehingga bisa dipastikan tidak terjadi ne bis in idem (pengulangan perkara) dalam permohonan ini.

Kedua, permohonan ini menilik secara teoritik dan empirik berkenaan dengan pendirian pembentuk undang-undang dan MK tentang ambang batas pencalonan presiden yang menjadi basis penguatan sistem presidensialisme multipartai.

Secara teoritis, pandangan akan lemahnya sistem presidensial berpadu dengan sistem multipartai yang berpotensi mengakibatkan deadlock dan imobilitas pemerintahan harusnya tidak relevan di Indonesia.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kejaksaan RI telah Bertransformasi & Mereformasi Diri

Rabu, 19 November 2025 | 12:23 WIB
X