Adanya kecenderungan presiden dan partai politik
untuk berkoalisi secara alamiah, kuatnya basis kewenangan presiden, serta insentif pemilu serentak dan sistem representasi proporsional nyatanya sudah cukup untuk mencegah lemahnya presidensialisme multipartai di Indonesia.
Dengan demikian, desain ambang batas pencalonan dalam Pasal 222 UU Pemilu melanggar aspek proporsionalitas dan rasionalitas dalam suatu pilihan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).
Justru, pemberlakuan ini malah melemahkan checks and balances dalam pembentukan undang-undang di Indonesia yang mencederai kedaulatan rakyat. Hal-hal tersebut mengakibatkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 22E
Ayat (1) UUD NRI 1945.
Ketiga, pengaturan ambang batas pencalonan presiden tidak berkaitan dengan penyederhanaan kepartaian dan prinsip efektif efisien dalam pemilihan presiden.
Misalnya, pada Pilpres 2004, dengan ambang batas pencalonan pada angka 3% kursi atau 5% suara sah pemilu DPR, tercatat saat itu hanya 5 (lima) pasangan calon yang ditetapkan KPU sebagai peserta pilpres.
Ketika ambang batas pencalonan dinaikkan menjadi 20% total kursi di DPR atau 25% dari suara sah secara nasional, pun tidak
menyederhanakan jumlah calon dan koalisi partai secara signifikan.
Bahkan, penerapan angka ambang batas pencalonan pada Pemilu 2009, bertentangan dengan perencanaan atau peta jalan UU 23/2003 yang seharusnya menempatkan ambang
batas pencalonan sebesar 15% dari total kursi DPR atau 20% dari suara sah secara nasional. Inkonsistensi tersebut menunjukkan bahwa basis perhitungan besaran angka ambang batas pencalonan tidak didasarkan pada pertimbangan yang berkelanjutan, ilmiah, dan akademis.
Sebaliknya, ambang batas pencalonan justru menjadikan partai politik kesulitan memenuhi syarat 20% kursi atau 25% suara dalam pencalonan.
Hal itu berakibat pada terhambatnya fungsi kaderisasi partai politik dan hak partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon sebagaimana dijamin oleh Pasal 6A
Ayat (2) UUD NRI 1945.
Keempat, ketentuan ambang batas pencalonan presiden tidak memberikan keadilan bagi partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di parlemen (partai politik non-parlemen).
Hal ini ditunjukkan dengan berbagai fakta bahwa dukungan terhadap salah satu presiden tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perolehan suara partai politik non-parlemen.
Hal itu dikarenakan posisi tawar (bargaining position) yang lemah dibanding partai politik pemilik kursi di parlemen, serta faktor tidak adanya logo partai politik non-parlemen yang dicantumkan dalam kolom dukungan pada surat suara pemilihan presiden.
Sudah semestinya sebagai sesama peserta pemilu, partai politik diperlakukan sama dan setara.
Dalam artian, tidak ada ketergantungan dari partai politik non-parlemen terhadap partai politik parlemen dalam pencalonan presiden. Adanya Pasal 222 UU Pemilu telah menggerus kesempatan partai politiknon-parlemen untuk meraup dampak coattail effect atau efek ekor jas dari pemilu serentak.
Sebabnya, kandidat presiden lebih cenderung mendekatkan diri pada partai politik parlemen daripada partai politik non-parlemen.
Oleh karena itu, Pasal 222 Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945.