KetikPos.com - Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, isu politik uang atau "money politics" di khawatirkan akan kembali mencuat.
Praktik yang sering disebut sebagai "serangan fajar" atau "uang kompensasi ke TPS" ini seakan sudah menjadi fenomena umum, terutama pada masa tenang hingga hari pemilihan.
Sofhuan Yusfiansyah, SH, MH, seorang praktisi hukum dan pengamat Pilkada, menegaskan bahwa fenomena ini bukan hanya mencederai demokrasi, tetapi juga merusak kredibilitas hasil pemilu.
"Money politics adalah praktik yang sudah sangat mengakar di berbagai tahapan pemilu, termasuk di Sumatera Selatan, tak terkecuali di Kota Palembang. Ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan pemilu yang bersih, jujur, dan adil," ujar Sofhuan saat diwawancarai di kantor SHS Law Frim, Jl PHDM VII Palembang, pada Senin (07/10/24)
Baca Juga: Wujudkan Pilkada yang Bersih dan Transparan, BP2SS Tegaskan Akan Bentuk Satgas Anti Money Politics
Dijelaskan Sofhuan, bahwa dalam perspektif hukum, praktik politik uang secara tegas dilarang. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, melalui Pasal 187A ayat (1), menyebutkan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menawarkan atau memberikan uang atau barang untuk mempengaruhi pilihan pemilih dapat dijerat hukuman pidana.
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih baik secara langsung maupun tidak langsung pada saat pelaksanaan pemilu akan dikenakan sanksi pidana," jelas Sofhuan, mengutip pasal tersebut.
Baca Juga: Yolanda Fiorence Lingga : Tolak Kehadiran Ani-ani Terjun Ke Dunia Politik
Selain itu, Pasal 73 ayat (1) UU Pilkada juga melarang pemberian uang oleh kandidat, tim kampanye, atau pihak yang berafiliasi dengan mereka. Meski demikian, Sofhuan menyoroti bahwa praktik ini masih sering terjadi, khususnya menjelang hari pemilihan.
Sofhuan mengingatkan bahwa politik uang dapat berdampak serius, tidak hanya merusak integritas demokrasi tetapi juga mengorbankan kualitas kepemimpinan.
"Jika pemimpin terpilih melalui praktik money politics, sering kali fokus utamanya setelah terpilih bukan untuk rakyat, tetapi untuk mengembalikan 'investasi' yang dikeluarkan selama kampanye," katanya.
Lebih lanjut, politik uang juga membentuk mentalitas pragmatis di kalangan masyarakat, di mana pemilih menganggap pemberian uang sebagai hal yang wajar dalam setiap pemilu. “Ini merusak mentalitas masyarakat, seolah-olah suara mereka bisa dibeli dengan uang,” ujarnya.
Meskipun undang-undang sudah tegas melarang politik uang, sambung Sofhuan, diduga penegakan hukum di lapangan masih bisa dikatakan lemah.
Artikel Terkait
Rayakan HUT ke 19 Tahun, LSM MMK Ajak Masyarakat Jaga Kedamaian di Pilkada Kota Palembang
Tim Ramlan Holdan Tekankan Soal Koordinasi Demi Pilkada Muara Enim yang Damai
Fraksi NasDem Sumsel Tegur Pj Gubernur: Jangan Ada Rotasi Pejabat yang Bernuansa Politik Jelang Pilkada
Tanggapan Mualimin Pardi Dahlan Terkait Pernyataan Cak Sholeh Soal Pidana bagi Anggota Dewan yang Kampanye di Pilkada
Kampanye Hitam di Pilkada Palembang: Senjata Makan Tuan yang Justru Bisa Menguntungkan Pihak Lawan
Cegah Money Politics pada Pilkada 2024, YBH SSB Palembang Segera Dirikan Posko Pengaduan di 18 Kecamatan
Wujudkan Pilkada yang Bersih dan Transparan, BP2SS Tegaskan Akan Bentuk Satgas Anti Money Politics