Beberapa bulan sesudah itu, Anas menjadi Ketua Fraksi Demokrat DPR RI periode 2009-2014. Nazaruddin yang merupakan Bendahara Umum Demokrat diminta Anas berkoordinasi dengan Angelina Sondakh, yang kala itu adalah Koordinator Anggaran di Komisi Bidang Olah Raga DPR RI.
Nazaruddin juga diminta berkoordinasi dengan Ketua Komisi Olahraga, Mahyuddin. Lalu, keduanya bersama Angelina Sondakh menggelar rapat di kantor Menteri Pemuda dan Olahraga, yang kala itu diisi oleh Andi Mallarangeng.
Mereka semua ini kemudian menikmati hotel prodeo, kecuali Mahyudin yang pernah Wagub Sumsel, tak tersentuh. Sama seperti Sekjen Partai Demokrat Edie Baskoro alias Ibas Yudhoyono.
Usai menerima notulen rapat, Anas meminta Nazaruddin agar mempertemukan Angelina Sondakh dengan Direktur Marketing PT Anak Negeri, Mindo Rosalina Manullang. Keduanya diharapkan bisa bekerja sama terkait proyek Hambalang.
Selanjutnya, pada Februari 2010, sertifikat tanah di Hambalang mulai diproses. Anas meminta Nazaruddin untuk memanggil anggota Komisi Pemerintahan DPR, Ignatius Mulyono, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto soal penerbitan sertifikat yang sempat bermasalah.
Anas pada April 2010 kemudian mengumumkan bahwa pemenang tender proyek Hambalang bukan PT Duta Graha Indah, melainkan PT Adhi Karya. Keputusan ini dipilih lantaran
perusahaan itu tidak mampu membantu membiayai Kongres Partai Demokrat, senilai Rp100 miliar.
Berlanjut ke awal Agustus 2011, dugaan korupsi Rp2,5 triliun di proyek Hambalang mulai terendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lalu, pada Februari 2012, Nazaruddin mengaku ada pembagian atas Rp100 miliar dari hasil tindak pidana itu.
Disebutnya, sebagian uang dipakai Anas dalam Kongres Partai Demokrat. Sisanya, dibagikan ke beberapa anggota DPR RI serta Menpora Andi Mallarangeng. Namun, pernyataan Nazar itu dibantah oleh Anas dengan kalimat sumoahnya yang kemudian sempat viral kala itu, “Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas”.
KPK pada Juli 2012, menetapkan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora, Dedi Kusnidar sebagai tersangka. Sebab, ia menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat proyek. Di akhir tahun itu, Andi Mallarangeng juga bernasib sama karena menerima uang korupsi.
KPK juga mencekal adik Andi Mallarangeng, yakni Zulkarnain Mallarangeng dan pejabat PT Adhi Karya, M. Arif Taufikurrahman. Sementara itu, pada 22 Februari 2013, Anas Urbaningrum juga menjadi tersangka karena menerima gratifikasi proyek itu berupa barang dan uang.
Anas Urbaningrum kemudian divonis 8 tahun kurungan penjara oleh Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Vonis terhadap Anas tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hakim agar menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp94 miliar dan US$5,2 juta.
Namun, di tingkat banding, hukumannya dipangkas menjadi 7 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
KPK pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), yang juga diladeni oleh Anas. Almarhum Artidjo Alkostar menjadi salah satu hakim yang menangani kasasi tersebut.
Hukuman Anas pun diperberat menjadi 14 tahun penjara.
Lalu, di tingkat peninjauan kembali (PK), MA memangkas vonis sebanyak 6 tahun, sehingga masa hukumannya balik ke 8 tahun penjara.