KetikPos.com – Penanganan kasus dugaan korupsi proyek fiktif peta desa tahun anggaran 2023 di Kabupaten Lahat terindikasi janggal. Tim kuasa hukum mantan Kepala Dinas PMDes Lahat, Darul Effendi, menduga Kejaksaan Negeri (Kejari) Lahat abai membongkar aktor utama di balik proyek bernilai miliaran rupiah itu.
“Klien kami hanya pelaksana teknis. Bukan pengambil keputusan. Tapi justru dia yang dijadikan tumbal,” tegas Septiani, SH, dari SHS Law Firm, pimpinan Dr (Card) Sofhuan Yusfiansyah, SH., MH, dalam keterangan resminya, Sabtu (31/5/2025).
Baca Juga: Gugat Kejari Lahat, Darul Effendi Tempuh Praperadilan Demi Keadilan Prosedural
Septiani menegaskan, proyek ini bukan kerja satu-dua orang. Seluruh skema dirancang terpusat mulai dari perencanaan, anggaran, hingga pelaporan yang diduga kuat dikendalikan sekelompok elite birokrasi. Namun hingga kini, tak satu pun dari mereka tersentuh hukum.
“Yang mengatur anggaran, menyetujui dokumen fiktif, dan menandatangani laporan pertanggungjawaban, justru aman. Sementara klien kami, yang tidak punya kewenangan apa-apa, sudah dijebloskan ke sel,” ujarnya tajam.
Baca Juga: Kasus Pemalsuan Dokumen Tambang di Muratara, MA Perberat Hukuman Dua Terdakwa
Tim hukum menyebut telah menyerahkan bukti baru ke penyidik Pidsus Kejari Lahat, Senin (26/5/2025). Di antaranya dokumen soal manipulasi lelang, penunjukan langsung yang melanggar prosedur, hingga dugaan gratifikasi kepada sejumlah oknum pejabat.
“Ini bukan opini. Ini fakta. Dan jika Kejari serius, dalang sebenarnya seharusnya sudah dipanggil dan diperiksa,” tegas Muhamad Khoiry Lizani, SH, anggota tim hukum.
Ia menyebut penyidikan kasus ini sarat kejanggalan. Dari proyek yang menyasar lebih dari 100 desa, hanya satu-dua nama dijadikan tersangka. Sementara pengendali proyek tetap dilindungi.
“Kalau yang punya akses ke anggaran, kontrak, dan pengesahan tak diperiksa, maka ini bukan penegakan hukum ini teater keadilan,” ujar Khoiry.
Temuan tim hukum mengungkap bahwa dokumen pengadaan tidak sesuai dengan pelaksanaan di lapangan. Harga satuan diduga dimark-up, pelaksana proyek tidak kompeten, dan sebagian dana diduga mengalir untuk menyuap pejabat agar tutup mata.
“Ini bukan sekadar korupsi administratif. Ini skema pembajakan anggaran yang rapi dan sistematis,” tegas Akbar Sanjaya, SH, anggota tim hukum lainnya.