Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, bahkan menyinggung adanya dugaan setoran ke pihak internal:
“Travel diduga menyetor USD 2.600–7.000 per kuota, atau sekitar Rp40–108 juta, kepada oknum berpengaruh di Kemenag.”
Jika kalkulasi kasar ini diakumulasikan, potensi kerugian negara bisa menembus triliunan rupiah.
Drama di Luar Gedung KPK: Sorakan yang Menggema
Ketika Yaqut melangkah keluar menuju mobil dinasnya, puluhan massa sudah menunggu. Mereka adalah bagian dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, yang sebenarnya datang untuk menuntut penetapan tersangka terhadap Bupati Pati, Sudewo. Namun momentum kehadiran Yaqut justru jadi sasaran luapan emosi.
“Maling! Sama saja kayak Sudewo!” teriak demonstran.
Sorakan itu bergulir deras, menempelkan stigma korupsi ke sosok Yaqut. Kamera media merekam jelas bagaimana ia memilih bungkam, wajah datar, lalu masuk ke Fortuner hitam yang segera membawanya meninggalkan lokasi.
Adegan singkat itu jadi headline di berbagai media, sekaligus membentuk citra: Yaqut bukan sekadar pejabat yang dipanggil KPK, tetapi simbol dari dugaan praktik korupsi di sektor yang sangat sensitif, ibadah haji.
Di Persimpangan Hukum dan Politik
KPK hingga kini memang belum menetapkan tersangka. Namun serangkaian langkah sudah dilakukan:
• Pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Yaqut.
• Penggeledahan rumah dan penyitaan dokumen serta perangkat elektronik.
• Pemeriksaan saksi-saksi dari internal Kemenag maupun biro travel haji.
Kasus ini memperlihatkan dilema klasik: diskresi pejabat tinggi yang berbenturan dengan aturan hukum positif. Yaqut bisa saja berdalih keputusan 50:50 diambil demi “keadilan” atau “pertimbangan tertentu”. Tetapi bagi publik dan penegak hukum, langkah itu membuka ruang abu-abu yang terlalu lebar untuk dimanfaatkan.
Sorakan Publik: Simbol Ketidakpercayaan
Sorakan “maling” mungkin terdengar kasar. Tetapi dalam konteks politik Indonesia, itu adalah ekspresi ketidakpercayaan kolektif. Publik lelah dengan narasi “pemberantasan korupsi” yang sering berhenti di tengah jalan.
Kasus kuota haji menyentuh dimensi paling dalam: ibadah yang sakral, namun dijadikan komoditas. Di titik ini, kemarahan publik seakan menemukan simbolnya dalam sosok Yaqut.
Antara Diskresi dan Dosa Politik
Apakah Yaqut bersalah? Hukum akan menjawabnya. Namun yang jelas, ia kini berada di persimpangan antara pembelaan diri dan tekanan publik. Diskresi yang ia ambil telah berubah menjadi bumerang politik dan sosial.